Kamis, 18 Februari 2010

Di Sana pun Kulepas Kerinduan Pada Alam


Saat pelatihan instruktur teknologi pengolahan data PPPGK Sawangan Bogor di tahun 1991, dalam menciptakan suasana segar, beberapa aktifitas diselenggarakan bersama-sama pelatihan kejuruan yang lain. Misalnya lomba vokal, yang saat itu melalui lagu "Gubahanku-Gatot Sunyoto" kuperoleh hadiah "handuk kecil" sebagai upah pemenang. Pelatihan meliburkan semua peserta di setiap hari minggu, selepas melalukan pembenahan ruang asrama pada tempat menginap, terbersit angan tentang nama kondang yaitu Pelabuhan Ratu. Dengan menumpang angkot, yang melintas perkampungan Betawi dengan dentuman mercon-mercon saat hajatan, sampailah di terminal Bogor. Sambil lirik sana-sini layaknya penumpang pengalaman kucari jurusan Sukabumi. Siang yang ceria itu di terminal Sukabumi kucari angkutan jurusan Cisolok yang melewati Pelabuhan ratu. Sambil tengok kiri-kanan lewat jendela bis yang kutumpangi, akhirnya kutemukan pampangan laut biru di arah selatan. Nah..... mungkin sudah dekat tempat yang kutuju. Siang sore itu kutapakkan kaki di pantai yang konon kesohor indah dan jadi incaran semua orang yang ingin menikmati liburan di sana. Nyiur-nyiur benar-benar melambai seakan menyambut setiap yang datang. Hamparan pasir putih itu menyentak nyali untuk bermain sampai matahari mulai terbenam.

Selasa, 16 Februari 2010

Getaran Hati di Perbukitan itu Teruntai Dalam Kata-kata


Tahun 1977, Di kampusku pagi itu telah terkumpul semua anggota rombongan yang sepakat menuju kawasan Dieng Wonosobo, untuk melihat lebih dekat suasana kawasan yang sudah sering mengukir kenangan banyak orang, saat mereka berkunjung.
Sekitar jam 10 pagi selepas kota Wonosobo, bis rombonganku mulai menaiki perbukitan Dieng. Kiri kanan perjalanan dihiasi tanaman sayuran dan penduduk desa yang masih berbalut kain tebal di tubuhnya. Namun ketercenganganku akan penduduk yang nampak masih bermalas-malasan terjawab sudah saat turun dari bis yang parkir di sekitar candi kecil peninggalan nenek moyang. Hawa sangat dingin. Jaket yang tadi kulepas, akhirnya kukancingkan rapat-rapat; kurasakan segar dingin pegunungan itu merasuk ke tubuhku.
Telaga Seleri merupakan kawah yang mendidih dan selalu menghantarkan bau "kentut" belerang. Tak tahan nafasku berlama-lama di dekat bibir telaga. Sampailah di sisi bukit dekat telaga itu. Sapaan lembut kuterima "dari mana?". Ternyata itu salah satu cara membuka saat berkenalan. Suasana keakraban makin terasa saat di Telaga Warna; sambil duduk bergerombol menatap keajaiban Telaga Warna, dentingan senar gitar dan senandung lagu-lagu country menjadi penuh dengan nuansa indah. Telaga Si Kidang ternyata layaknya sungai kering, yang di sana-sini terdapat mata air yang memancarkan air belerang mendidih. Ketela bisa matang karenanya.
Sore itu akhir kunjungan disepakati di kawasan Telaga Menjer; sayangnya perahu telaga tidak jalan; hanya hari Minggu saja siap menghantar pengunjung berwisata perahu.

Menelusur Kawasan Merapi-Merbabu

Pagi yang cerah itu kusambut bersama kiat untuk menyisir kaki-kaki gunung yang tegar membiru. Berawal dari kawasan Muntilan; jalan dan jalan terus untuk tetap bersama dalam segalanya. Di persimpangan itu, akhirnya ke arah kiri yang lebih dulu kutelusuri; daerah Pogalan merupakan kawasan lereng barat Merbabu, dengan kerajinan logamnya. Namun tak lama aku di situ, kutetapkan untuk menelusur arah kanan, ke Boyolali. Di dekat persimpangan itu, kini disebut Ketep; kiri kananku Merbabu-Merapi. Aku pernah berhenti di warung dekat pertigaan itu; ada teh panas ada "jadah goreng". Melalui jalan berkelok naik turun, di sana-sini hijau tanaman sayur mayur menghiasi lereng pegunungan. Walau daerah itu asing bagiku, namun tak terasa sudah sampai di kaki timur Merbabu. Tadi pagi, saat di daerah Muntilan tak terbayang kalau akan melewati celah Merapi-Merbabu, lalu merambah lereng timur Merbabu melewati kawasan Selo, yang dapat dijumpai villa peristirahatan dengan hawa sejuk dan pintu naik Merapi di sisi utara. Di jalanan kelas III, CB silverku terus mengikuti keinginan tangan dan asaku, hingga terdampar di gerai sate kambing Boyolali beriring gerimis lembut di siang itu. Ternyata seusai Salatiga ada pula panorama Rawa Pening yang dapat mengendorkan otot-otot tubuhku.

Kamis, 11 Februari 2010

Hiking Sebagai Sarana Memperkaya Wawasan Diri


Hampir setiap dua minggu sekali secara kelompok para personil THA(Teladan Hiking Association) menjelajah lokasi yang dapat dijadikan sebagai area kegiatan.Diantara kegiatan yang merupakan pengisi liburan akhir semester adalah bersepeda beriringkan sinar bulan purnama; menggelar tenda di lapangan Kenteng Nanggulan Kulon Progo; lalu pagi hari berjalan menyusur tebing menuju Gua Kiskendo dengan sungai bawah tanah, "pertapaan Mantri Tani" dan "Ponor"-nya yang memukau.
Suatu ketika di liburan semester, teman-teman sepakat untuk menuju Pangandaran. Dengan bekal tenda yang seadanya, sore itu berangkat melalui stasiun Lempuyangan, nebeng di serambi antar gerbong kereta tanki jurusan Maos. Pagi itu sambil menikmati "pecel bunga combrang" kuhirup udara segar dari persawahan di sekitar stasiun Maos. Setelah datang kereta jurusan Bandung, kami masuk ke ruang masinis menuju stasiun Banjar.Bagai seorang masinis aku terlena dengan perjalananku.Sore itu ternyata kereta kuno arah Pangandaran sudah menunggu. Di terowongan Kalipucang yang panjang itu di sana-sini terdengar jeritan manja gadis-gadis Bandung saat tangan-tangan usil menyentuhnya. Sungguh indah panorama pegunungan yang berlatar-belakang Laut Selatan. Kereta kuno itu akhirnya sampai di stasiun Pangandaran. Kita semua bergegas; menahan rasa penasaran daerah baru yang indah dan unik bahasa daerahnya. Seminggu berkemah di tepi pantai Pantai Pangandaran yang berdindingkan cagar alam dengan satwa banteng, kera dan ikan hiasnya yang mampu diraih dengan mengayuh sampan melalui teluk Pangandaran.Bila pagi kami sengaja menikmati terbitnya mentari yang menghiasi pantai Rengganis di sebelahnya, yang akrab dengan nelayannya.
Sungguh berjasa seorang ibu di warung tepi cagar alam itu membantu menyediakan makan kami; walau kontak kami bahasa Indonesia melawan bahasa Sunda. Menakjubkan!
Di kawasan 12 km dari Pangandaran dapat dijumpai Pantai Batu Hiu yang erotik saat langit terang di siang terik, beriring semilirnya angin laut di antara menjulangnya nyiur pantai.

Kerinduanku Pada Alam Bebas


Ketika liburan tiba saat SMP di tahun 1971 bersama Agus yang juga se-SMA di kawasan Kuncen Wirobrajan Yogyakarta,tekad keingin-tahuan lokasi Pantai Baron Gunung Kidul, kulewati menumpang bis sampai kota Wonosari, lalu berjalan kaki sejauh 22 Km menuju Pantai Baron di jalanan yang masih penuh bebatuan, tanpa terlewati angkutan umum.
Menyusuri tebing bebukitan di atas sungai bawah tanah yang bermuara ke laut selatan, Agus tersungkur menimpa kamera dalam kalungannya dan akhirnya sampailah ke ujung Parang Raco.Di samping kananku ombak besar berdeburan menghantam tebing karang tak hentinya. Dengan pisauku kutorehkan namaku di pohon pandan di ujung Parang Raco itu sebagai tanda kemenangan menapakkan kaki di situ.
Kesegaran air tanah di bawah bebukitan itu ternyata tak kusia-siakan juga; sambil diiringi sapaan ombak lembut Pantai Baron.
Seusai menikmati makanan khas pedesaan Pantai Baron lalu kunaiki bebukitan sisi timur untuk menatap panorama kawasan Pantai Baron. Jalan setapak yang kususuri bersama Agus akhirnya tembus di pantai Kukup, yang khas dengan dihiasi pasir putih dan ikan-ikan hias pantai. Kulewati pula jembatan bambu menuju pulau kecil di kawasan Pantai Kukup. Aku relakan seluruh tubuhku diterpa derasnya angin laut.

Senin, 08 Februari 2010

Refresh dan Menambah Wawasan Lingkungan


Di tahun itu tahun 1974 para pecinta alam di SMAku yang tergabung dalam Teladan Hiking Association sepakat di suatu pagi melintas lereng G. Lawu. Kukemas segala persiapan, dari berapa peserta, berapa kendaraan dan peralatan apa saja yang harus dipersiapkan. Semua rombongan hari itu menuju Ngerong di barat Magetan. Bis besar tak mampu lagi naik ke bukit Sarangan yang dihiasi indahnya telaga. Hari itu sengaja aku melewati Tawangmangu sendirian untuk mengurus pemberitahuan terhadap pemerintah setempat; bahwa esok hari kami berombongan melintas wilayah itu. Dengan jubah panjang hitam dan berbekal kayu lapuk yang ku"bara"kan ujungnya, aku menerobos jalanan sepi menuju Cemarasewu dan berakhir di Telaga Sarangan pukul 19.30. Rekan-rekan saat itu masuk di acara "api unggun" di perkemahan tepi telaga Sarangan.
Setelah semalaman mengisi sunyinya tepian telaga dengan gitar akustik di pangkuanku bersama teman-teman; dini hari itu memunculkan sinar mentari keemasan di atas gulungan awan yang menutupi kota Magetan dan sekitarnya. Pantulan lampu-lampu villa di sekitar telaga pelahan hilang dari permukaan telaga yang tenang menghijau.

Pantai Krakal, Sundak dan Drini Saksi Nyata


Kebersamaan itu kiat melekat kuat dan menyatu dalam asa yang betumpu pada keabadian dan keindahan alam. Suasana asri, alami yang sunyi menghantarkan ke kawasan Pantai Krakal, Pantai Sundak dan Pantai Drini di Gunung Kidul. Ternak di ladang, tanaman palawija, lahan terasering bebatuan, angin kering pegunungan menghantarkan suasana khas dalam perjalanan menuju kawasan itu.
Di kawasan itu campur tangan manusia belum begitu terasa; sungguh alami, di sana didapatkan suasana kehidupan baru. Beberapa warung yang ada masih sepi pengunjung; deburan ombak dan angin laut yang basah mendominasi keberadaan orang yang ada di sana. Rezeki mereka kais dari alam sekitar yang tidak begitu subur. Dengan bertemankan anjing-anjing kecil mereka menguasai alam di sekitarnya. Pasir putih dan panorama indah Pantai Sundak belum menggugah nyali mereka untuk mengembangkan bisnis wisata. Berbeda di Pantai Drini beberapa penduduk memanfaatkan kontur pantai yang aman untuk melabuhkan perahu bermuatan ikan, selepas menebarkan jala di laut lepas.