Selasa, 16 Februari 2010

Getaran Hati di Perbukitan itu Teruntai Dalam Kata-kata


Tahun 1977, Di kampusku pagi itu telah terkumpul semua anggota rombongan yang sepakat menuju kawasan Dieng Wonosobo, untuk melihat lebih dekat suasana kawasan yang sudah sering mengukir kenangan banyak orang, saat mereka berkunjung.
Sekitar jam 10 pagi selepas kota Wonosobo, bis rombonganku mulai menaiki perbukitan Dieng. Kiri kanan perjalanan dihiasi tanaman sayuran dan penduduk desa yang masih berbalut kain tebal di tubuhnya. Namun ketercenganganku akan penduduk yang nampak masih bermalas-malasan terjawab sudah saat turun dari bis yang parkir di sekitar candi kecil peninggalan nenek moyang. Hawa sangat dingin. Jaket yang tadi kulepas, akhirnya kukancingkan rapat-rapat; kurasakan segar dingin pegunungan itu merasuk ke tubuhku.
Telaga Seleri merupakan kawah yang mendidih dan selalu menghantarkan bau "kentut" belerang. Tak tahan nafasku berlama-lama di dekat bibir telaga. Sampailah di sisi bukit dekat telaga itu. Sapaan lembut kuterima "dari mana?". Ternyata itu salah satu cara membuka saat berkenalan. Suasana keakraban makin terasa saat di Telaga Warna; sambil duduk bergerombol menatap keajaiban Telaga Warna, dentingan senar gitar dan senandung lagu-lagu country menjadi penuh dengan nuansa indah. Telaga Si Kidang ternyata layaknya sungai kering, yang di sana-sini terdapat mata air yang memancarkan air belerang mendidih. Ketela bisa matang karenanya.
Sore itu akhir kunjungan disepakati di kawasan Telaga Menjer; sayangnya perahu telaga tidak jalan; hanya hari Minggu saja siap menghantar pengunjung berwisata perahu.

2 komentar: